Pengertian, Hukum dan Tata Cara Pelaksanaan Wasiat Lengkap

faraid
Hukum, Syarat, Rukun Wasiat | ceritabumi.com

“Fuqaha’ Malikiyah menta’rifkannya adalah suatu perikatan yang mengharuskan kepada si penerima wasiat meng-hak-i 1/3 harta peninggalan si pewasiat, sepeninggalnya atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada si penerima wasiat, sepeninggalnya.”


PENGERTIAN WASIAT

Faraid – Fuqaha’ yang bermadzhab Hanafiyah menta’rifkan wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.

Ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menta‘rifkannya dengan ta‘rif yang hampir sama dengan ta’rif di atas. Sedang Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir nomor 71 tahun 1946 menta’rifkannya secara umum yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan macam-macam wasiat, yakni, mengalihkan hak memiliki harta peninggalan, yang ditangguhkan kepada kematian seseorang.

1. Hukum Wasiat

Wasiat itu adalah suatu tuntutan syari at untuk dilaksanakan. Dalam menetapkan sifat hukum tuntutan itu para fuqaha’ berselisih pendapat.

  1. lbnu Hazm mengatakan bahwa Washjyat itu hukumnya fardhl ‘ain bagi setiap’ orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka. Beliau menganalisa firman Allah s.w.t:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

 “Setelah diambil untuk, wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar hutangnya.”

Sebagai berikut:

Dalam ayat tersebut Tuhan mewajibkan kepada umat Islam untuk mempusakakan harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan mewajibkan untuk mendahulukan pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang dari pada mempusakakan harta peninggalannya. Sesuatu penafsiran yang membeda-bedakan antara kewajiban mempusakakan dengan mewasiatkan adalah batal.

Baca juga Pengantar Ilmu Waris Lengkap, Mudah dan Praktis (Pembagian Harta Warisan)


Harta wasiat
Harta Wasiat | ceritabumi.com
  1. Abu Dawud dan Ulamn-ulama Salaf seperti Masruq, Thawus, lyas, Qatadah dan Ibnu Jarir menyatakan bahwa wasiat itu hukumnya “wajib” dilaksanakan kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau beberapa sebab tidak dapat mempusakai.

Beliau mengemukakan alasan bahwa firman Tuhan dalam Surat Al Baqarah: 180:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

 “Diwajibkan atasmu, bila kematian merengut salah seorang dari kamu. jika ia meramalkan harta peninggalan, berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat secara adil, sebagai suatu kewajiban bagi orangorang yang taqwa. ” (aI-Baqarah:180),

itu adalah:

a. Bersifat Umum uridu bihil-khushush.

Yakni menurut mafhum yang tersurat dalam nash, bahwa kewajiban berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat itu adalah bersifat umum. Baik kedua orang tua dan kerabat-kerabat tersebut masih berhak mempusakai, maupun sudah tidak berhak mempusakai. Tetapi menurut mafhum yang tersirat dalam nash, bahwa kewajiban berwasiat kepada mereka adalah khusus. Yakni khusus bagi mereka yang sudah tidak berhak menerima pusaka, atau:

b. Sudah di-nasakh sebagian hukumnya oleh ayatayat mawarits dan hadits-hadits

yang telah menjelaskan furudhul-muqaddarah para ahli waris dan ketentuan bagian mereka yang lain. Baik Surat al-Baqarah: 180 itu bersifat umum uridu bihil-khushush (bersifat umum, tetapi maqsudnya khusus), maupun sudah dinasakh dengan ayat-ayat dan hadits-hadits mawaris. Namun kewajiban berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat yang sudah tidak berhak mempusakai, misalnya karena berlainan agama, adanya tindak pembunuhan dan perbudakan, masih tetap berlaku.

  1. Jumhurul fuquha’ dan fuqaha’ Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa hukum berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat yang berhak mempusakai. Bagi orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan, adalah tidak fardhu-‘ain, seperti pendapat Ibnu Hazm dan hukum berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat yang tidak berhak mempusakai adalah tidak wajib, seperti pendapat Abu Dawud dan ulama-ulama Salaf, sebab.

a. Andai kata wasiat itu di-fardhu-kan atau di-wajib-kan niscaya Nabi Muhammad s.a.w. pasti menjelaskannya. Nabi tidak pernah menjelaskannya, bahkan di kala manjelang kewafatannya, beliau tidak mewasiatkan sedikitpun tentang harta peninggalannya.

b. Kebanyakan dari sahabat Nabi tidak menjalankan wasiat. Ketiadaan berwasiat kebanyakan sahabat Nabi itu, tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini berarti suatu Ijma’ (sukuti).

Karena wasiat itu suatu pemberian yang tidak wajib diserah terimakan sewaktu yang berwasiat masih hidup, maka sudah barang tentu tidak wajib pula diserah-terimakan sepeninggal yang berwasiat. Untuk mempertahankan dan memperkuat pendapatnya, mereka mengemukakan bantahan terhadap argumentasi yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dan Abu Dawud dll, sbb:

a. Ayat yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm di atas (an-Nisa’: 11), tidak tepat jika untuk mem-fardhukan wasiat. Sebab kefardhu-an pusaka mempusakai dalam ayat tersebut tidak menunjukkan ke-fardhu-an wasiat sebelum terjadi pusaka-mempusakai. Tetapi puncak dari mafhum ayat itu ialah bahwa membagikan harta pusaka itu hendaknya setelah pembayaran hutang dan pelaksanaan wasiat dan apabila wasiat telah diucapkan serta dipenuhi syarat dan rukunnya, maka wasiat itu baru berlaku setelah kematian seseorang.

b. Adapun ayat 180 dari surat al-Baqarah yang dikatakan oleh Abu Dawud dll. itu bersifat umum uridu bihil-khushus atau sudah dinasakh oleh ayat-ayat mawaris, maka nasakh-nya bukanlah hanya sebagian hukumnya saja, tetapi nasakh-nya adalah seluruh hukumnya, dengan penjelasan sebagai berikut:

Wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat, baik mereka berhak mempusakai maupun tidak, adalah diwajibkan pada permulaan zaman Islam. Akan tetapi oleh karena hukum wajib wasiat itu telah dinasakh secara keseluruhan oleh ayat-ayat mawarits yang tercantum ‘dalam surat An-Nisa’: 11, maka kedua orang tua dan kerabat-kerabat, baik yang berhak mempusakai maupun yang tidak, sudah tidak mempunyai hak untuk menerima wasiat.

Jelasnya, menurut Al-Alusy dalam tafsirnya, adalah sebagai berikut:

Bahwa Allah Ta’ala, dalam surat Al-Baqarah: 180, mula-mula menyerahkan wewenang kepada orang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya dengan syarat agar ia memperhatikan batas-batas diperkenan berwasiat dan memperhatikan pula hak-hak masing-masing kerabat dan wasiat itu agar dilakukan dengan seadil-adilnya sebagaimana diperintah oleh Tuhan dalam rangkaian kalimat “bil-ma‘ruf.”

Kemudian tatkala si pewasiat sudah tidak ber-i’tikad baik, bahkan kadang-kadang melalaikannya, Allah lalu mengalihkan sendiri penyerahan wewenang si pewasiat untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat dengan memberikan hak-hak kepada mereka yang meyakinkannya dan mengandung hikmah yang tinggi. Hak-hak tersebut, seper-enam atau seper-tiga atau semisalnya, adalah demikian ketatnya hingga tidak mungkin dirobah.

Dengan demikian hak-hak mereka untuk menerima wasiat dipindahkan kepada hak untuk menerima pusaka oleh Firman Tuhan: Yushikumullohu-frauladikum sampai akhir ayat. Ini berarti bahwa apa yang diserahkan kepada kamu sekalian di dalam surat al-Baqarah ayat: 180 dialihkan penjelasannya oleh Tuhan sendiri dalam ayat-ayat mawaris, karena kamu sendiri sudah tidak mampu me-realisir batas-batas ketentuannya disebabkan kepicikanmu.

Setelah Allah Ta’ala sendiri menjelaskan hak-hak tersebut dengan nyata, berakhirlah kewajiban berwasiat dengan tercapainya maksud melalui cara-cara yang lebih kuat. Sebagaimana halnya bila seseorang memerintahkan kepada orang lain untuk melaksanakan suatu tugas, kemudian karena sesuatu hal tugas tersebut diselesaikan sendiri oleh si pemberi perintah, maka perintah (tugas) dan kekuasaan untuk melaksanakannya berakhir.

Sebagian ulama yang membolehkan men-nashakh al-Kitab dengan as-Sunnah mengemukakan hadits-hadits sebagai pe-nashakhnya. Antara lain Hadits:

Dari Abu Umamah r.a. ujarnya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda dalam salah satu khutbahnya pada tahun haji Wada’, sabdanya: Sungguh Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi orang yang mendapat warisan…… dst. ” (Rw. at-Turmudzy).

Hukum wasiat sebagaimana diterangkan di atas adalah menurut dasar semula. Namun demikian jika wasiat tersebut dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang mempengaruhinya, ia tidak terlepas dari ketentuan hukum wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.

hukum berwasiat
Hukum Berwasiat | ceritabumi.com

1. Wajib

Bila wasiat itu sebagai pemenuhan hak-hak Tuhan yang dilalaikan, seperti: pembayaran zakat, kafarat, nadzar, fidiyah puasa, haji dan lain-lain sebagainya atau sebagai pemenuhan hak-hak sesama yang tidak diketahui selain oleh si-pewasiat sendiri. Menurut ketentuan umum melaksanakan amanat itu adalah wajib. Padahal satu-satunya jalan dalam hal ini tidak ada lain kecuali memberikan wasiat. Oleh karena itu memberikan wasiat itu, adalah wajib.

2. Sunnat

Bila wasiat tersebut untuk orang yang tidak dapat menerima pusaka atau untuk motif sosial, seperti berwasiat kepada fakir miskin, anak-anak yatim dan lain sebagainya, dengan tujuan bertaqarrub kepada Allah, menambah amal, memberikan sumbangan-sumbangan kepada kerabat-kerabat yang kekurangan dan berderma kepada lembaga-lembaga sosial.

3. Haram

Bila wasiat tersebut untuk suatu maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-tempat perjudian, pelacuran dan lain sebagainya.

4. Makruh

Bila wasiat tersebut diwasiatkan kepada orang fasik dan orang ahli maksiat yang dengan wasiat Itu mereka menjadi tambah fasik dan tambah maksiat. Tetapi kalau diduga keras bahwa dengan wasiat tersebut mereka menjadi orang baik, hukumnya berubah menjadi sunat.

5. Mubah

Bila wasiat itu ditujukan kepada kerabat-kerabat atau tetangga-tetangga yang penghidupan mereka sudah tidak kekurangan.


BOLEHKAH BERWASIAT KEPADA AHLI WARIS YANG MENDAPAT HARTA PUSAKA?

Masalah ini diperselisihkan oleh para fuqaha’:

  1. lbnu Hazm dan fuqaha’ malikiyah yang termasyhur tidak membolehkan sama sekali berwasiat kepada ahli waris yang menerima pusaka, baik para ahli waris mengizinkan maupun tidak. Karena tuhan, melalui lisan Nabi Muhammad s.a.w. mencegah yang demikian itu (lawasiatan liwarisin). Oleh karena itu si pewasiat tidak dibenarkan menjalankan ketentuan hukum yang telah dibatalkan oleh Allah SWT.
  2. Menurut fuqaha’ Syi’ah Imamiyah wasiat senacam itu diperbolehkan, kendatipun tidak mendapat izin dari ahli-ahli waris, sesuai dengan keumuman ayat: 180 dari surat al-Baqarah.
  3. Menurut ulama yang termashur dari madzhab Syafi’iyah dan ulama Malikiyah yang kurang masyhur, bahwa wasiat kepada ahli waris yang dapat menerima pusaka itu sah atas izin para ahli waris. Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi Muhammd s.a.w.

Tidak ada hak menerima wasiat bagi orang yang menerima pusaka. kecuali para ahli waris membolehkannya. ” [Rw. Ad-Daru Quthny)

Perizinan ahli waris ini merupakan suatu kerelaan untuk dikurangi hak-hak mereka.

  1. Menurut ahli hukum aliran Hanafiyah bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima pusaka tidak dibolehkan, walaupun sedikit, bila tidak diizinkan oleh ahli waris sepeninggal si pewasiat. Alasan beliau ini hampir sama dengan Asy-syafi’iyah. hanya bedanya perizinan itu hanya diberikan sepeninggal si pewasiat. Sebab mereka baru mempunyai hak milik yang dapat dikurungi karena memberikan izin untuk dilaksanakan suatu wasiat, sesaat kematian si pewasiat.

BERWASIAT KEPADA ORANG YANG SUDAH MEMBUNUH SI PEWASIAT

wasiat untuk pembunuh
Berwasiat Untuk Pembunuh | ceritabumi.com

Apabila seorang yang akan meninggal berwasiat kepada seseorang, kemudian orang yang diberi wasiat tersebut membunuh orang yang memberi wasiat, maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama tentang sah atau tidaknya.

  1. Fuqaha’ Syafi’iyah dan lmamiyah mengesahkan wasiat tersebut, biarpun pembunuhan itu benar-benar disengaja dan bermotif untuk mempercepat kematian orang yang memberi wasiat agar ia lekas memperoleh harta yang diwasiatkan. Tindak makar pembunuhan semacam itu menyebabkan orang yang bertindak membunuh terlarang mempusakai, tetapi tidak meniadakan usaha yang mulia dari si korban untuk memberikan wasiat kepadanya.
  2. Fuqaha’ Hanafiyah mengesahkan wasiat kepada orang yang telah membunuh si pewasiat dengan syarat bahwa pembunuhan itu bukan pembunuhan karena sengaja atau karena khilaf. Oleh karena itu apabila seseorang berwasiat kepada seseorang, kemudian orang yang diberi wasiat itu dengan sengaja membunuh orang yang telah memberi wasiat, maka wasiat tersebut adalah batal. Demikian juga halnya apabila seseorang memukul seseorang dengan tidak ada maksud untuk membunuh, tetapi membawa akibat kematian orang yang dipukul, kemudian, sesaat setelah terjadi pemukulan, orang yang dipukul berwasiat kepada orang yang memukulnya. maka wasiat itupun batal. Kecuali kalau wasiat kepada si pembunuh dalam pembunuhan karena khilaf ini telah mendapat perkenan dari ahli waris, maka wasiat itu menjadi sah. Biarpun para ahli waris telah mengizinkan, namun kalau pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja dan dilakukan setelah ia mendapat wasiat, dengan suara bulat, tetap batal. Berlainan halnya kalau pembunuhnya belum dewasa atau orang sinting, adalah sah tanpa tergantung perizinan ahli waris.
  3. Ulama Malikiyah menetapkan 2 (dua) syarat untuk sahnya wasiat kepada orang yang telah membunuh si pewasiat Yakni:

a. Wasiat itu diberikan setelah adanya tindakan pendahuluan untuk membunuh (misalnya: memukul, menyiksa, dan lain sebagainya), dan

b. Si korban hendaknya mengenal kepada pembunuhnya, bahwa dialah yang sebenarnya menjalankan tindakan makar pembunuhan itu.

Berdasarkan dua syarat tersebut, bila ada seseorang yang menganiaya orang lain, baik dengan sengaja maupun karena khilaf, kemudian setelah terjadi penganiayaan, orang yang teraniaya berwasiat kepada penganiaya yang menyebabkan kematian, maka wasiat tersebut adalah sah.

Sebagai pelaksanaan wasiat diambilkan 1/3 harta peninggalan dan 1/3 diyah pembunuhan dalam pembunuhan yang dilakukan karena khilaf dan 1/3 harta peninggalan saja dalam pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja.

Adapun wasiat yang diucapkan sebelum adanya tindak makar pembunuhan yang mengakibatkan kematian orang yang berwasiat, baik yang berwasiat mengetahui bahwa pembunuhnya ialah orang yang telah diberi wasiat maupun tidak, adalah tidak sah. Sebab tindak makar pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang diberi wasiat yang diduga keras bermotif untuk mempercepat dalam memperoleh harta wasiat itu adalah identik dengan tindak makar pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris yang bermotif untuk mempercepat dalam memperoleh harta pusaka.

Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah dalam menetapkan persyaratan yang ke 2, ialah bahwa disyari’atnya wasiat itu adalah sebagai penebus keteledoran-keteledoran dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at dan sebagai penambah amal-amal kebajikan sebanyak-banyaknya. Dengan merelakan berwasiat sebagian hartanya kepada orang yang pernah bercidera kepadanya, tercapailah ihsan yang bakal membuahkan pahala yang diharap-harapkan.

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir pada pasal: 17, melarang memberikan wasiat kepada pembunuh yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Baik si pembunuh sendiri sebagai dader (pelaku), mededader (turut berbuat) maupun pemberi keterangan/persaksian palsu dan pembunuhan tersebut bukan pembunuhan yang karena hak atau karena udzur dan dilakukan oleh orang yang dewasa lagi berakal.

Termasuk dalam kreteria pembunuhan karena udzur ialah pembunuhan karena noodweer exces (pembelaan diri karena terpaksa).


BATAS PELAKSANAAN WASIAT

Apabila wasiat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah wasiat tersebut dilaksanakan sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat rnemanfa’atkan dan mentransaksi-kannya menurut kehendaknya. Pada prinsipnya besar wasiat yang dibenarkan oleh syari’at itu ialah 1/3 harta peninggalan setelah diambil biaya-biaya perawatan dan pelunasan-pelunasan hutang si mati.

Baca juga: Berlainan Negara yang Menjadi Penghalang Mempusakai (Ketentuan Waris dalam Islam)


WASIAT WAJIBAH

wasiat wajibah
Wasiat Wajibah | ceritabumi.com

1. Pengertian Wasiat Wajibah

Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah suatu tindakan ikhtiyariyah. Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun juga. Penguasa maupun Hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat.

Adapun kewajiban wasiat bagi seseorang disebabkan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah s.w.t., seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan-larangan berpuasa dan lain sebagainya telah diwajibkan oleh syari’at sendiri, bukan oleh Penguasa atau oleh Hakim. Nash-nash Syari’at yang mewajibkannya ialah keumuman ayat-ayat al Qur’an yang merintahkan untuk melaksanakan amanat dan sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas r.a. uiarnya:

“Seorang laki-laki datang menghadap Nabi Muhammad s.a.w. seraya bertanya: “Ibuku telah wafat dan dia masih mempunyai tanggungan berpuasa sebulan lamanya, apakah aku haru: memenuhinya?” Sahut Nabi: “andaikata Ibumu mempunyai hutang, apakah engkau melunasinya?” “Ya”, jawabnya. “Kalau begitu,” jawab Nabi seterusnya, “hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk dibayar. ”

Namun demikian Penguasa atau Hakim sebagai aparat negara tertinggi, mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat yang terkenal dengan istilah wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat-wajibah (wajib) disebabkan karena dua hal:

  1. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
  2. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan ‘laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

Orang-orang yang berhak mendapat wasiat-wajibah. Sebagaimana dimaklumi, berdasarkan pendapat jumhurul-fuqaha’, me-wasiat-kan sebagian harta benda kepada seseorang keluarga, dekat maupun jauh, tidak diwajibkan oleh syari’at. Kecuali bagi orang yang mempunyai tanggungan hak dengan orang lain yang tidak dapat diketahui selain oleh dia sendiri atau mempunyai amanat-amanat yang tidak diketahui orang (saksi).

Oleh karena itu, misalnya, bila (A) yang akan mati mempunyai anak laki-laki bernama (B) dan cucu lakilaki anaknya (F), yaitu (C), yang (F) ini mati sewaktu (A) masih hidup, maka (A) tidak wajib berwasiat kepada (C). Setelah (A) mati harta peninggalannya seluruhnya diterima oleh (B). Sedang (C) tidak menerima peninggalan sedikitpun, baik dengan jalan pusaka, karena terhijab oleh (B), maupun wasiat, karena tiada ketentuan yang mengharuskan untuk diberinya wasiat.

Berhubung ketiadaan (C) menerima peninggalan yang disebabkan kematian ayahnya (F), mendahului kematian kakeknya (A) itu merupakan suatu kecemasan, maka Undang-Undang mengobati kekecewaan tersebut dengan apa yang disebut: wasiat wajibah

Dengan memperhatikan contoh di atas maka dapat diambil ketetapan bahwa orang yang berhak menerima wasiat-wajibah itu adalah: cucu-cucu laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama dengan kakek/neneknya.

2. Besarnya Wasiat Wajibah

Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir No. 71 tahun 1946 menetapkan besarnya wasiat-wajibah ialah:

Sebesar yang diterima oleh orang tuanya sekiranya orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 peninggalan dan harus memenuhi 2 syarat:

  1. cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pusaka, dan
  2. Si mati (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan padanya.
  3. Pelaksanaan wasiat-wajibah.

Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir dalam pasal 78, mewajibkan pelaksanaan wasiat wajibah tersebut tanpa tergantung perizinan ahli waris, kendatipun si mati tidak mewasiatkannya, setelah dipenuhi biaya perawatan dan pelunasan hutang dan wasiat-wajibah tersebut harus didahulukan dari pada wasiat-wasiat lainnya.

Artinya kalau ada sisa setelah pelaksanaan wasiat-wajibah baru dilaksanakan wasiat-wasiat yang lain menurut urut-urutan yang telah ditentukan oleh undang-undang Wasiat, baru kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing.

3. Dasar Hukum Wasiat Wajibah

Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat menetapkan wasiat wajibah atas dasar hasil mengkompromikan pendapat-pendapat Ulama salaf dan Ulama khalaf, yakni:

  1. Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha’ dan tabi’in besar ahli fiqih dan ahli hadits. Antara lain Said lbnu-Musaiyab, Hasanul-Bishry, Thawus, Imam Ahmad, lshaq bin Rahawaih dan Ibnu Hazm.
  2. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat-wajibah, bila si mati tidak berwasiat, adalah diambil dari pendapat madzhab Ibnu Hazm yang dinukil dari fuqaha’ tabi’in dan dari pendapat madzhab Imam Ahmad.
  3. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan kepada sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pendapat madzhab lbnu Hazm

Jadi dengan demikian, menurut sebagian fuqaha” perintah penguasa itu mewujudkan hukum syara’.

Bagian yang wajib dikeluarkan, menurut lbnu Hazm boleh dibatasi tentang maksimal dan minimalnya oleh si pewasiat sendiri dan ahli waris. Sedang aurat al-Baqarah ayat: 180 menjelakan bahwa wasiat kepada kerabat-kerabat itu ialah wasiat bil-ma’ruf. Istilah ma’ruf dalam ayat tersebut ialah sesuatu usaha yang dapat menenangkan jiwa dengan tidak menyampingkan kemaslahatan-kemaslahatan.

Oleh karena itu adalah suatu keadilan bila Pemerintah mewajibkan kepada para ahli waris untuk memberikan bagian dari harta peninggalan yang dipusakai kepada cucu-cucu orang yang meninggal yang orang tua cucu-cucu tersebut telah mati mendahului orang yang mewariskan, sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari sepertiga harta peninggalan

Wallahu ‘alam…

Lanjut baca: Cara Pembagian Harta GONO-GINI dan GAWAN Lengkap, Mudah dan Praktis

Scroll to Top